Bismillahirrahmanirrahim
Sekian tahun
lalu kata “tarbiyah” menurutku adalah sebuah ritual yang hanya buang-buang
waktu saja. Bagaimana tidak? Sebuah kumpulan orang-orang “takut lelaki” melingkar
di tempat yang jauh dari keramaian. Kemudian hanya membincangkan seputar Islam
yang sangat membosankan. Ritual sakral atas nama “tarbiyah” memang telah lekat di
telingaku sejak tahun pertama aku mengenakan seragam putih abu-abu. Namun,
cahaya hidayah tak jua mampu menembus gerbang syeitan la’natulloh ‘alaih. Tidak, bukan tak mampu. Lebih tepatnya
tak mau mampir di hati. Hal ini jelas karena kemaksiatan yang aku lakukan.
Sebenarnya,
diselubung hati terkecil masih ada gejolak ingin mengikutinya. Hanya saja,
ketakutan atas penjilbab besar masih lebih besar ketimbang keinginan.
Akibatnya, untuk hanya sekadar mengatakan aku inginpun begitu berat. Ketakutan
ini pun terus berlanjut dan diperkuat dengan isu yang tersebar luas di
masyarakat. Bahwa penjilbab besar adalah orang-orang yang melebih-lebihkan
syariat, tak mau bersosialisasi, takut lelaki, bahkan dituding sebagai sebuah
aliran sesat. Entah ini benar atau tidak, yang jelas hal inilah yang pada saat
itu beredar dan aku tak pernah mengetahui benar tidaknya.
Lantas, apa
hubungannya jilbab besar dengan tarbiyah? Mengapa aku menyebut-nyebut tarbiyah
kemudian memunculkan kata jilbab besar? Entah ini ada hubungannya atau tidak.
Sesuai pengalaman yang pernah aku dapatkan bahwa, semua orang yang pernah
mengajaku tarbiyah mereka adalah para perempuan dengan jilbab besarnya. Bahkan,
hanya dengan mendengar kata tarbiyahpun maka yang terlintas dalam ingatan
adalah para penjilbab besar.
Seiring dengan
pergantian siang dan malam,
ketakutan-ketakutan menjadi sebuah sindrome
yang kusebut “phobia jilbab besar”. Istilah ini muncul disebabkan mainset yang terlanjur percaya bahwa
mereka adalah aliran sesat. Sehingga hanya dengan melihat atau mendengar pun, rasa takut dan risih itu muncul. Phobia jilbab besar ini
terus mengurat hingga masa putih abu-abu tinggal kenangan.
من يهده الله فلا مضل له ومن
يضلل فلا هادي له
“Barang siapa yang diberi hidayah
oleh Allah maka tidak ada yang bisa menyesatkannya, dan barang siapa yang
disesatkan oleh Allah maka tidak ada yang mampu memberinya petunjuk”[1]
Mungkin, akan muncul pertanyaan mengapa potongan
kalimat pembuka majelis ini tiba-tiba muncul di tengah-tengah tulisan. Aku akan
segera menjawabnya. Aku yang dahulu adalah seorang “phobia jilbab besar” kini ternyata adalah pelaku jilbab besar. Hal ini sesuai dengan
potongan doa pembuka majelis tersebut. Allah Maha membolak-balikkan hati. Maka
siapakah yang mampu menolaknya ketika Allah telah berkehendak.
Mungkin pula
pembaca akan bertanya-tanya mengapa aku yang seorang “phobia jilbab besar”
bahkan menjadi pelaku jilbab besar. Hal ini terjadi karena aku ikut-ikuttan
pada penyelenggaraan ritual sakral atas nama “tarbiyah”. Sebenarnya tak
serta-merta ikut-ikuttan, lebih tepatnya terpaksa ikut-ikuttan. Mengutip
perkataan seorang teman bahwa terkadang kebaikan itu mesti dipaksakan. Dan aku
bersyukur pernah berada dalam kondisi keterpaksaan itu.
Keadaan ini
tentunya tak terjadi begitu saja. Ada sosok yang berdiri tegap di belakangku.
Dia siap mendorongku tatkala aku mundur, dan siap menarikku ketika aku lari dari tarbiyah. Maka jadilah aku
terperosok dalam keterpaksaan ikut tarbiyah.
Tarbiyah bagi sebagian orang -mungkin- menjadi hal
paling menakutkan. Keadaan ini pun pernah terjadi pada diriku sendiri. Kurang
lebih alasannya sama seperti waktu jaman
SMA dulu. Jilbab besar sang penyebar aliran sesat.
Namun, ketakutan
masyarakat ini bisa pula terjadi karena
mereka tak mengetahui esensi dan apa tarbiyah itu sendiri. Bisa jadi mereka
menganggap bahwa di lingkaran tarbiyah tersebutlah diajarkan aliran sesat. Hal
inilah yang harus diluruskan.
Saat ini,
sebagai salah satu pelaku jilbab besar tentu hal ini menjadi sebuah keadaan
yang sangat menyedihkan. Sebagai seorang pelaku jilbab besar tentu akupun ingin
saudari-saudariku merasakan hidayah yang saat ini aku rasakan. Tetapi, satu hal
yang menjadi pertanyaan besar adalah bagaimana mengubah persepsi yang terlanjur
mengakar ini? Menurutku, jawabannya hanya satu, Tarbiyah Islamiyah.
Tarbiyah
bukanlah seperti yang mereka persepsikan selama ini. Justru, melalui
tarbiyahlah aku semakin terpikat oleh semua keindahan Islam. Menurut Umar Yusuf
Hamzah mengemukakan bahwa secara umum kata tarbiyah dapat
dikembalikan pada tiga akar kata yang berbeda;- يربو ربا yang semakna
dengan- ينمو نما berkembang, ربي- يربي yang berarti
tumbuh, dan ربّ- يربّ yang
bermakna memperbaiki, mengurus, memimpin, menjaga, memelihara dan mendidik.
Berdasarkan pengertian ini dapat dianalisa bahwa tarbiyah adalah mempelajari dan mengamalkan ilmu
tentang keislaman dan dilakukan secara berkesinambungan. Pengertian ini telah
jauh dari apa yang mereka persepsikan. Pada kenyataannya tarbiyah merupakan
salah satu wadah yang didalamnya mempelajari ilmu-ilmu Islam sebagai bekal
menuju dunia yang sesungguhnya.
Jika konsep
tarbiyah ini dipahami oleh masyarakat, besar kemungkinan mereka tak segan-segan
mengikutinya. Sehingga, merekapun dapat menjemput hidayah mereka melalui
tarbiyah. Menjemput hidayah melalui
tarbiyah memang bukanlah satu-satunya jalan mendapatkan hidayah. Masih banyak sarana-sarana lain. Meskipun
demikian, aku ingin saudariku merasakan nikmatnya hidayah melalui tarbiyah.
Mengenai hal ini, tentu manusia hanya bisa berusaha karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala-lah yang memegang
kendali atas hati-hati manusia. Sebagaimana sabda-Nya:
إِنَّكَ لا تَهْدِي مَنْ
أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَن يَشَاء وَهُوَ أَعْلَمُ
بِالْمُهْتَدِينَ
“sesungguhnya engkau tidak akan bisa memberikan petunjuk kepada
orang yang engkau cintai, akan tetapi Allah lah yang memberi hidayah kepada
siapa yang dikehendaki-Nya, dan Dia lebih tahu terhadap orang-orang yang
mendapatkan hidayah” [2]
Hidayah,
hidayah, hidayah. Hidayah seperti apa yang diharapkan? Tentunya hidayah yang
datangnya dari Allah Subhanahu Wa
Ta’ala. Hidayah adalah cahaya
kelembutan yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala
turunkan kepada hamba-Nya yang ia kehendaki. Hidayah adalah sebuah karunia
terbesar bagi manusia yang mampu mendapatkannya. Dan manusia terhebat adalah
manusiayang mampu menjaga hidayah. Namun, tak lengkap rasanya
hidayah tanpa seorang pekerja keras. Siapakah pekerja keras itu? Menurutku,
pekerja keras adalah manusia yang terus menambah dan mengejar kesibukan dunia
untuk mendapatkan Syurga yang dijanjikan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Seperti yang
telah aku kemukakan bahwa hidayah adalah karunia terbesar. Hidayah adalah
nikmat sebaik-baik nikmat. Aku bersyukur, Allah Subhanahu Wa Ta’ala menurunkan hidayah-Nya kepadaku melalui
tarbiyah Islamiyah. Alhamdulillah..
Dan kepada orang
yang telah Allah Subhanahu Wa Ta’ala titipkan
untuk menjagaku, aku ucapkan jazakillah
khair atas kesabarannya mendorongku tatkala mundur, dan menarikku ketika
lari. Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjagamu
hingga takdir berlaku atas dirimu..
Wahai Dzat yang Maha Membolak-balikkan hati,
penuhilah hati ini dengan cahaya-Mu dan cukupkanlah hati ini dengan
mengingatmu... Aamiin.
penulis adalah salah satu Mahasiswi Angkatan 2011 Fakultas Kesehatan Masyarakat Unhas
__________________________
[1] Sepenggal kalimat khuthbah yang sering disebut dengan khuthbah hajah, yang dicontohkan oleh Nabi صلى الله عليه وسلم di setiap khuthbah yang Beliau sampaikan, [كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول في خطبته يحمد الله ويثني عليه بما هو أهله ثم يقول: [من يهده الله فلا مضل له ومن يضلله فلا هادي له. إن أصدق الحديث كتاب الله، وأحسن الهدى هدي محمد، وشر الأمور محدثاتها، وكل محدثة بدعة، وكل بدعة ضلالة، وكل ضلالة في النار] (رواه النسائي)
[2] Surat
Al-Qashash : Ayat-56
kajiannya bagus :)
BalasHapus